Selasa, 07 Juni 2011

makalah PAI



MAKALAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
ISLAM DAN SENI





Disusun Oleh :

1.      Budi Kusuma Wardani ( 3201410057 )
2.      Aulia Istiqomah ( 3201410089 )
3.      Zuama Hilma Ismani ( 3201410101 )





PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Alloh S.W.T. atas  rahmat dan ridho-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Islam dan Seni ” ini dengan tepat waktu.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan pihak-pihak terkait. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada dosen  yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan kepada kami, serta teman-teman.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu kami mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pembaca, Amiin.
Semarang, 13 April 2011
Penyusun








DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I   PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
1.2  Rumusan Masalah
1.3  Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN
              2.1 Sikap Islam terhadap seni
             2.2 Jenis – jenis seni
a) Seni suara
b) Seni rupa
c) Seni busana
d) Seni sastra

BAB III PENUTUP
               3.1Kesimpulan
               3.2Saran
Daftar Pustaka




BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
             Islam menyukai keindahan dan seni.  "Sesungguhnya kami telah menciptkan manusia dengan bentuk yang sebaik-baiknya." (QS: At Tiin :4), dan bahkan, seorang mukmin dituntut agar selalu memiliki rasa yang dalam dan peka terhadap keindahan akan ciptaan Allah swt., firman Allah, "Apakah mereka tidak melihat langit di atas mereka, bagaimana kami telah meninggikan dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun." (QS: Qaaf :6).
Dengan ini maka setiap mukmin menyukai keindahan dikarenakan efek dari keindahan Allah swt, yang juga menyukai keindahan, karena Al Jamiil ( Yang Maha Indah ) adalah salah satu dari nama - nama Alloh SWT.
Islam membolehkan pemeluknya berkreativitas dan mengekspresikan apa yang ada di benak mereka, tentu Islam juga memandu agar kreativitas mereka bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan umat manusia, serta tidak dibiarkan ngloyor tanpa arah, sehingga menyebabkan timbulnya madharat pada diri manusia sendiri.
Seni yang sahih adalah seni yang bisa mempertemukan secara sempurna antara keindahan dan al haq, karena keindahan adalah hakikat dari ciptaan ini, dan al haq adalah puncak dari segala keindahan ini. Oleh karena itu Islam membolehkan penganutnya menikmati keindahan, karena hal itu adalah wasilah untuk melunakkan hati dan perasaan.
Seni dalam Islam adalah penggerak nalar agar bisa menjangkau lebih jauh tentang apa yang berada di balik mater. Keindahan adalah salah satu sebab tumbuh dan kokohnya keimanan, sehingga keindahan itu menjadi sarana mencapai kebahagiaan dalam kehidupan. (Dalam Fannanul Muslim wal Ibda', Dr. Barakat Muhammad Murad, Manarul Islam No.353, Vol 30)
Dan sebaliknya Islam melarang penganutnya menikmati dan mengekspresikan tindakan-tindakan yang telah dilarang oleh agama, karena hal itu malah mencampakan para pelakunya kepada hal-hal yang merugikan diri mereka sendiri.
1.1. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan islam mengenai seni ?
2. Apakah suara wanita merupakan uarat ?
3. Seni busana seperti apa yang dibenarkan menurut syariat Islam ?
4. Bagaimana pandangan Islam mengenai seni rupa dan sastra ?
5. Mengapa islam melarang penganutnya menikmati dan mengekspresikan tindakan-tindakan yang dilarang oleh agama?

1.2. Tujuan
Ø  Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam
Ø  Menambah pengetahuan pembaca mengenai pandangan islam terhadap seni

















BAB III
PEMBAHASAN
2.1 Sikap Islam Terhadap Seni
Pada dasarnya, sesuatu yang indah itu disukai oleh Allah karena Dia zat yang Maha Indah dan menyukai yang indah. Islam mempunyai kriterianya yang tersendiri untuk dijadikan pengukur pedoman bagi menentukan halal atau haramnya sesuatu karya seni itu. Kriteria pertama ialah seni atau karya seni itu mestilah baik yaitu yang mempunyai cirri-cirinya yang khusus. Antaranya ialah tidak merusak budi pekerti yang mulia serta tidak melalaikan orang dari beribadat dan mengingat Allah. Kriteria penolakan pula ialah seni atau karya seni tersebut buruk yaitu bisa merusak moral, melalaikan diri daripada beribadat kepada Allah dan sekaligus melupakanNya.

2.2. Jenis –Jenis Seni
a) Seni suara
b) Seni rupa
c) Seni busana
d) Seni sastra
Berikut ini akan di uraikan satu per satu mengenai jenis – jenis seni dalam prospek Islam
a)      Seni Suara
Suara wanita bukanlah aurat, selama tidak disuarakan dengan cara yang melanggar syara’, misalnya dengan suara manja, merayu, mendesah, dan sejenisnya. Maka dari itu, boleh akhwat bernyanyi dalam sebuah masirah, dengan syarat tidak disertai perbuatan haram dan maksiat, seperti ikhtilath (campur baur pria wanita), membuka aurat, dan sebagainya.
Dalil bahwa suara wanita bukan aurat, adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Adapun dalil As-Sunnah, antara lain bahwa Rasulullah SAW mengizinkan dua wanita budak bernyanyi di rumahnya (Shahih Bukhari, hadits no. 949 & 952; Shahih Muslim, hadits no. 892). Pernah pula Rasulullah SAW mendengar nyanyian seorang wanita yang bernazar untuk memukul rebana dan bernyanyi di hadapan Rasulullah (HR. Tirmidzi, dinilainya sahih. Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, VII/119). Dalil As-Sunnah ini menunjukkan suara wanita bukanlah aurat, sebab jika aurat tentu tidak akan dibiarkan oleh Rasulullah (Abdurrahman Al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 69-70).
Namun demikian, syara’ mengharamkan wanita bersuara manja, merayu, mendesah, dan semisalnya, yang dapat menimbulkan hasrat yang tidak-tidak dari kaum lelaki, misalnya keinginan berbuat zina, berselingkuh, berbuat serong, dan sebagainya. Suara wanita yang seperti itulah yang diharamkan, bukan suara wanitanya itu sendiri. Jadi, suara wanita itu bukanlah aurat yang tidak boleh diperdengarkan.
Maka dari itu, boleh hukumnya wanita bernyanyi dalam acara masirah tersebut, sebab suara wanita bukanlah aurat. Namun dengan 2 (dua) syarat. Pertama, suara itu dalam batas kewajaran, bukan sengaja dibikin mendesah-desah, mendayu-dayu, merayu, dan semisalnya. Kedua, perbuatan itu tidak disertai perbuatan-perbuatan haram dan maksiat, seperti ikhtilath, membuka aurat, dan sebagainya. Wallahu a’lam
Allah SWT yang menciptakan manusia  telah memberi peringatan akan hal ini :

فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِى فِى قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوفاً
Artinya : Maka janganlah kamu wahai wanita, merendahkan (melembutkan) suaramu maka dibimbangi orang yang berpenyakit di hatinya beringinan jahat kepadamu, maka bercakaplah hanya dengan kata-kata yang baik ( kandngan dan tatacaranya)” (Al-Ahzab : 32)
-          Membaca Al-Qur’an
Al-Quran adalah kalam Allah dan kitab suci umat Islam. Ia bukan saja mempunyai nilai sastra yang amat indah dan tinggi tetapi juga mempunyai seni bacaan yang unik. Oleh itu, membaca al-Quran diberikan prioriti yang pertama dan utama dalam Islam. Kita dituntut oleh syariat Islam supaya membaca al-Quran mengikuti tajwidnya yang betul dan dengan suara yang baik bukan dengan cara berlagu sebagaimana lagu-lagu qasidah. Karena dikhawatirkan akan menambah atau mengurangkan huruf-huruf al-Quran, menyalahi tajwid,  dan dianggap suatu bid’ah pula. Menurut Ibn Hajar al-Haithami dalam kitabnya, Kaff al-Ri’a’ al Muharramat al-Sama’, kesengajaan membaca al-Quran secara berlagu dengan menambahkan huruf atau menguranginya untuk memperelokkan dan memperhiaskannya adalah fasiq. Bahkan menurut fatwa Imam al-Nawawi mengenai golongan yang membaca al-Quran dengan berlagu yang buruk serta banyak perubahannya, maka hukumnya adalah haram menurut ijmak para ulama’.
-          Memainkan  alat – alat musik
Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya? Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal,atau rebana. Sabda Nabi Saw:
“Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” [HR. Ibnu Majah]
Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan.
Dalam hal ini kami cenderung kepada pendapat Syaikh Nashiruddin al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli hadits yang memandang shahih, seperti Ibnu Shalah dalam Muqaddimah ‘Ulumul Hadits, Imam an-Nawawi dalam Al-Irsyad,
Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.
-          Tari tarian
Seni tari dalam sejarah lintasan Islam
 Dalam sejarah Islam terdapat perbedaan pendapat antara yang pro dengan yang kontra tentang seni tari. Seni tari pada permulaan Islam berbentuk sederhana dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang datang dari luar jazīrah ‘Arab, seperti orang-orang Sudan, Ethiopia, dan lain-lain. Menari biasa dilakukan pada hari-hari gembira, seperti hari raya dan hari-hari gembira lainnya.
Imām Ahmad dan Ibnu Hibbān juga meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Anas r.a. Beliau berkata (Lihat MUSNAD IMĀM AHMAD, Jilid III, hlm. 152; lihat juga Al-Qastallanī, IRSYĀD-US-SARI, SYARH-SHAHĪH BUKHĀRĪ, Jilid II, hlm. 204-205):
(كَانَتِ الْحَبَشَةُ يَزْفِنُوْنَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ (ص) وَ يَرْقُصُوْنَ وَ يَقُوْلُوْنَ: مُحَمَّدٌ عَبْدٌ صَالِحٌ)
"Orang-orang Habsyah (pada hari raya ‘Īd-ul-Adhhā) menari (dengan memainkan senjata mereka) di hadapan Rasūlullāh s.a.w. Banyak anak-anak berkumpul di sekitarnya karena ingin menonton tarian mereka. Orang-orang Habsyah bernyanyi (dengan sya‘ir): "MUHAMMAD ADALAH HAMBA YANG SHALEH...." (secara berulang-ulang).
Sesudah jaman Rasūlullāh s.a.w., khususnya di jaman Daulah ‘Abbāsiyyah, seni tari berkembang dengan pesat. Kehidupan mewah yang dicapai kaum Muslimīn pada waktu itu telah mengantarkan mereka kedalam suatu dunia hiburan yang seakan-akan telah menjadi keharusan dalam masyarakat yang ma‘mūr (Hukum mendengarkan alunan lagu adalah mubah, tetapi ketika itu orang-orang telah melakukannya). Namun banyak ‘ulamā’ yang tidak setuju dengan tarian semacam itu, tercatat di antaranya ialah Imām Syaikh-ul-Islam, Ahmad Ibnu Taimiyah (wafat tahun 1328 M). Beliau menentang keras seni tari dalam kitabnya yang berjudul Risālah fī Simā‘i war-Raqs was-Surākh (Risālah tentang Mendengar Musik, Tarian-Tarian dan Nyanyian). Namun ada juga kalangan ‘ulamā’ yang membolehkan seni tari selama tidak melanggar norma-norma Islam. Yang berpendapat begini di antaranya Ibrāhīm Muhammad Al-Halabī (wafat tahun 1545 M.). Beliau mengarang kitāb yang berjudul Ar-Rahs Wal-Waqs Limustahill-ir-Raqs (Benteng yang Kokoh bagi Orang yang Membolehkan Tari-Tarian).
Tari Zapin sampai sekarang masih hidup subur di kepulauan Riau (Melayu). Bahkan banyak tradisi yang sekarang berkembang di nusantara adalah hasil perkembangan tari rakyat Riau yang diperagakan mulai dari lingkup istana sampai kedai-kedai kopi. Serampang dua belas, misalnya, adalah tarian populer peninggalan karya tersebut. Kata-kata pengiring tarian ini masih menggunakan bahasa ‘Arab yang bercampur dengan bahasa Melayu (Lihat Dr. Oemar A. Hoesin, KULTUR ISLAM, hlm. 466-467).
Dahulu, pada jaman khilafah ‘Abbāsiyah, seni tari telah mendapatkan tempat yang istimewa di tengah masyarakat, baik di kalangan istana, gedung-gedung khusus (rumah pejabat dan hartawan), maupun di tempat-tempat hiburan lainnya (taman ria dan sebagainya). Pada akhir masa khilafah ‘Abbāsiyah, kesenian tari mulai mundur ketika tentara bangsa Mongol menguasai pusat peradaban Islam di Baghdād. Semua hasil karya seni dirusak oleh tentara keji itu karena memang bangsa ini tidak menyukai tarian. Kemudian pada masa khilafah ‘Utsmāniah berikutnya, seni tari berkembang lebih pesat lagi, khususnya tarian sufi yang biasa dilakukan oleh kaum pria saja. Sedangkan penari wanita menarikan tarian di istana dan rumah-rumah para pejabat. Mereka ini adalah penari "berkaliber tinggi".
Namun perlu diperhatikan di sini, dalam sejarah umat Islam yang panjang, tari-tarian itu tidak pernah dilakukan di tempat-tempat terbuka yang penontonnya bercampur-baur antara lelaki dengan wanita. Ini berbeda halnya dengan nyanyian. Pada masa pemerintahan khilafah ‘Abbāsiyah, para penyanyi diijinkan menyanyi menyanyi sambil menari di jalanan atau di atas jembatan serta di tempat-tempat umum lainnya. Rumah-rumah les privat menyanyi dan menari dibuka untuk umum, baik di rumah-rumah orang kaya maupun miskin. (Lihat Abū Al-Farāj Al-Ishfahānī, AL-AGHĀNĪ, Jilid XVIII, hlm. 128, dan Jilid XIII, hlm. 127). Tetapi tidak pernah dilakukan di tempat-tempat khusus, seperti yang dilakukan sekarang ini (khususnya anak-anak muda), misalnya di night club, panggung pertunjukan, dan sebagainya. 
Perlu diingat, tari-tarian pada masa lalu hanya dilakukan oleh wanita-wanita budak saja yang bekerja di istana, di rumah para pejabat, atau di rumah-rumah rakyat biasa. Namun ada juga penari dari kalangan pria, misalnya Ibrāhīm Al-Maushili (wafat 235 H.), dan sekelompok penari kawakan yang tercatat di dalam kitāb Al-Aghānī. (Lihat Abū Al-Farāj Al-Ishfahānī, ibidem, Jilid V (Riwayat hidup Ibrāhīm Al-Maushili)). 
Sebagaimana kami sebutkan di atas, tari-tarian dimasa permulaan Islam tidak pernah dilakukan dalam keadaan kaum lelaki menari bercampur dengan kaum wanita, kecuali sesudah kebudayaan Barat mulai mewarnai dan mempengaruhi kebudayaan Islam. Sesudah itu baru muncul kebiasaan menari dengan mengikuti para penari Barat dengan gaya merangsang syahwat dan membangkitkan birahi, seperti tari balet, dansa, joget, dangdut, atau tarian yang menimbulkan histeria seperti disko dan break dance.

Imām Al-Ghazālī dalam kitāb IHYĀ’-UL‘ULŪM-ID-DĪN, (Lihat Imam Al-Ghazali, IHYĀ‘-UL-‘ULŪM-ID-DĪN, Jilid VI, hlm. 1141, 1142 dan 1187) beranggapan bahwa mendengar nyanyian dan musik sambil menari hukumnya mubāh. Sebab, kata beliau: "Para sahabat Rasūlullāh s.a.w. pernah melakukan "hajal" (berjinjit) pada saat mereka merasa bahagia. Imām Al-Ghazālī kemudian menyebutkan bahwa ‘Alī bin Abī Thālib pernah berjinjit atau menari tatkala ia mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

(أَنْتَ مِنِّيْ وَ أَنَا مِنْكَ)
"Engkau tergolong ke dalam golonganku, dan aku tergolong ke dalam golonganmu."

Begitu juga Ja‘far bin Abī Thālib. Kata Imām Al-Ghazālī, dia pernah melakukan hal yang sama (berjinjit) ketika mendengar sabda Rasūlullāh s.a.w. :

(أَشْبَهْتَ خَلْقِيْ وَ خُلُقِيْ)
"Engkau adalah orang yang paling mirip dengan corak dan tabiatku".

Juga Zaid bin Hāritsah pernah berjinjit tatkala mendengar sabda Rasūlullāh s.a.w.:

(أَنْتَ أَخُوْنَا وَ مَوْلاَنَا)
"Engkau adalah saudara dan penolong kami."

Dalam kesempatan lain ‘Ā’isyah diijinkan Rasūlullāh s.a.w. untuk menyaksikan penari-penari Habsyah. Kemudian Imām Al-Ghazālī menyimpulkan bahwa menari bahwa menari itu hukumnya boleh pada saat-saat bahagia, seperti hari raya, pesta pernikahan, pulangnya seseorang ke kampung halamannya, saat walīmahan pernikāhan, ‘aqīqahan, lahirnya seorang bayi, atau pada waktu khitanan, dan setelah seseorang hafal Al-Qur’ān. Semua ini hukumnya mubāh yang tujuannya untuk menampakkan rasa gembira. Tetapi tari-tarian itu maupun jenis-jenis hiburan lainnya tidak layak dilakukan para pejabat dan pepimpin yang menjadi panutan masyarakat. Ini bertujuan agar mereka tidak dikecilkan rakyat, tidak dijatuhkan martabatnya, atau tidak dijauhi oleh rakyatnya.

Tentang riwāyat Imām Bukhārī dan Imām Ahmad yang berkaitan dengan menarinya orang-orang Habsyah di hadapan Rasūlullāh s.a.w., Al-Qādhī ‘Iyādh berkata: "Ini merupakan dalīl yang paling kuat tentang bolehnya tarian sebab Rasūlullāh s.a.w. membiarkan mereka melakukannya, bahkan mendorong mereka untuk melanjutkan tariannya."

Akan tetapi Imām Ibnu Hajar menentang pengertian Hadīts yang membolehkan tarian. Beliau berkata: "Sekelompok sufi telah berdalīl kepada Hadīts tersebut untuk membolehkan tari-tarian dan mendengarkan alat-alat musik. Padahal jumhur ulama telah menegur pendapat ini dalam hal perbedaan maksud dan tujuan. Tujuan orang-orang Habsyah yang bermain-main dengan perisai dan tombak merupakan bagian dari latihan yang biasa mereka lakukan untuk berperang. Oleh karenanya, hal ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah untuk membolehkan tari-tarian yang tujuannya untuk menghibur diri." (Lihat Ibnu Hajar Al-Asqalani, FATH-UL-BĀRI, Jilid VI, hlm. 553).
 Kemudian Imām Ibn-ul-Jauzi berkata: "Menurut Abū Al Wafā Ibn-ul-‘Aqīl, Al-Qur’ān telah mencantumkan keharaman tarian dengan nash yang tegas seperti firman Allah s.w.t.:

(وَ لاَ تَمْشِيْ فِي الأَرْضِ مَرَحًا) (لقمن:18)
"Dan janganlah kamu berjalan di bumi ini dengan angkuh." (31:18)

Allah s.w.t. juga mencela orang-orang yang sombong dengan firmanNya:

(إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلُّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ) (لقمن:18)
"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang sombong lagi membanggakan diri." (31:18).

Karena itulah menurut Abū Wafā Ibnul ‘Aqīl, menari merupakan cara berjalan paling angkuh dan penuh dengan kesombongan. Kemudian Imam Ibn-ul-Jauzi melanjutkan dengan mengomentari tarian orang sufi. Katanya, dapatkah kita membayangkan suatu perbuatan keji yang dapat menjatuhkan nilai akal dan kewibawaan bagi seseorang serta menyebabkan ia terjatuh dari sifat kesopanan dan rendah hati, seperti yang dilakukan oleh seorang (sufi yang ) berjanggot. Apalagi yang melakukannya adalah kakek-kakek yang berjenggot, bertepuk tangan dan mengikuti irama yang dinyanyikan para wanita dan anak-anak muda yang belum tumbuh jenggotnya. Apakah layak bagi seseorang membanggakan diri dengan menari seperti binatang dan menepuk dada seperti wanita (sambil menari), yang sudah gaek dan hampir masuk liang kubur yang nantinya akan diminta pertanggungjawabannya di Padang Mahsyar?


b)     Seni Rupa
Secara umumnya para ulama’ membagi seni rupa menjadi dua yaitu:
a)      Seni rupa yang mempunyai imej ataupun bentuk dan hasilnya dinamakan  patung
b)      Seni rupa yang tidak mempunyai imej maupun bentuk dan hasilnya dinamakan gambar atau lukisan
Patung
·         Islam mengharamkan patung di dalam rumah yang dijadikan perhiasan dan  sebagainya karena malaikat rahmat akan menjauhi rumah tersebut
·         Jika si pembuat patung tersebut mengetahui bahwa patung itu akan disembah maka dia adalah seorang kafir, jika si pembuat patung itu tidak sengaja dan tidak mengetahui bahwa patung itu akan disembah, maka dia berdosa saja dengan perbuatannya itu
·         Terdapat hadist yang menyatakan bahwa si pembuat patung akan dipaksa memberi nyawa kepada patungnya. Dia akan disiksa selama ia tidak dapat memberikan nyawanya kepada patung tersebut.
-          Patung Cacat
·         Segolongan ulama’ berpendapat bahwa Islam tidak mengharamkan patung yang tidak sempurna atau yang cacat karena ia tidak dapat disembah karena tidak lengkap anggotanya
·         Membuat patung cacat, hukumnya mubah
·         Tetapi, patung separuh badan yang dibina bagi mengagungkan pemimpin pemimpin tertentu, pengharamannya lebih tegas daripada patung kecil yang lengkap anggotanya yang hanya sekadar menjadi hiasan rumah
-          Patung Permainan Anak
·         Tidak terdapat larangan khusus mengenainya dalam Islam karena ia sekadar lukisan atau ukiran untuk hiburan kanak-kanak bukan bermaksud untuk disembah
·         Menurut Imam al-Syawkani, anak-anak kecil boleh bermain dengan boneka(patung), tetapi Imam Malik melarang lelaki membelikan boneka kepada anak perempuannya
·         Qadi ‘Iyad pula membolehkan anak-anak kecil perempuan bermain-main dengan boneka karena rukhsah
Lukisan
·         Jika lukisan seni berbentuk sesuatu yang disembah melainkan Allah seperti gambar Nabi Isa A.S atau al-Masih bagi orang-orang Kristian atau lembu bagi orang-orang Hindu dan sebagainya, maka pelukisnya tidak lepas dari azab Allah
·         Orang yang melukis sesuatu yang tidak dapat disembah tetapi dengan niat untuk menandingi ciptaan Allah, pelukis itu bukan saja terkena ancaman sebagai orang yang “paling berat siksaannya pada hari kiamat” malah dia juga terkeluar dari agama Islam
-          Film (Wayang Gambar)
·         Film Islam ialah film yang menemukan kefahaman-kefahaman Islam dengan Allah, alam semesta, kehidupan dan manusia sebagai pertemuan yang menyeluruh yang mengandung sifat-sifat keIslaman
·         Panggung wayang janganlah menjadi tempat mengobarkan syahwat, merosak komitmen terhadap nilai-nilai unggul, menghakis akhlak belia atau meracuni akal mereka dengan idea-idea asing yang bertentangan dengan aqidah dan pegangan ummat
·         Waktu-waktu tayangan hendaklah tidak bercanggah dengan waktu sholat
·         Panggung wayang tidak boleh menjadi tempat atau sarang untuk muda mudi memadu kasih secara haram
·         Janganlah panggung menjadi institusi yang membolot harta rakyat karena dimonopoli oleh sesetengah pihak dan mereka menjual tiket dengan harga yang mahal tanpa ada pengawasan daripada pihak bertanggungjawab
-          Seni Khat
·         Khat merupakan seni yang mengandungi keindahan estetika
·         Merupakan kesenian yang paling asas di dalam Islam karena ia merupakan wadah kepada pengaliran ilmu
·         Kaligrafi atau seni khat berasal daripada perkataan latin iaitu ‘kalios’ yang berarti indah manakala ‘graph’ bermaksud garisan atau tulisan
·         Ahli dalam seni khat dipanggil Khattat
c)      Seni Busana
Busana merupakan kebudayaan manusia yang dibenarkan bahkan dituntut oleh agama Islam agar manusia kelihatan sopan dan cantik : berbeda dengan hewan yang tidak berakal.
Dalam Islam, seni busana dari sudut estatikanya diserahkan kepada kebijaksanaan umat Islam sendiri menggubahnya untuk disesuaikan dengan adat, tradisi dan keadaan setempat. Islam amat menitikberatkan soal kebersihan kerana melihatnya sebagai asas bagi setiap perhiasan yang baik dan pemandangan yang elok dalam busana. Busana yang diperbuat daripada bulu kambing, sutera, kulit binatang yang halal, busana dari benang guni dan sebagainya adalah dihalalkan. Begitu juga dengan seni memperagakan busana. Ia dihalalkan selagi tidak melanggar batas-batas hukum Islam.
Busana berfungsi sebagai usaha menutup aurat dan untuk menghias diri. Busana yang tidak dapat menutupi aurat meskipun dapat dijadikan perhiasan diri seperti kain yang jarang adalah dianggap tidak menurut hukum Islam.
Busana yang dapat memelihara diri dari panas dan kesejukan serta dapat mempertahankan diri dalam peperangan juga dihalalkan dalam Islam.
Apa saja perhiasan yang didapati dari perut laut seperti mutiara, batu-batu berharga dan lain lain boleh dijadikan busana dan perhiasan manusia terutamanya kaum wanita. Dalam hal warna busana pula, tidaklah terlalu dititikberatkan oleh Islam. Namun begitu, adalah lebih baik jika berwarna putih.
Busana yang diperbuat dari sutera dan perhiasan emas dihalalkan bagi kaum wanita memakainya tetapi diharamkan bagi kaum lelaki. Haram bagi kaum lelaki untuk memakai atau mengguna apa saja yang diperbuat daripada emas seperti gelang, rantai, bekas rokok, gigi emas dan sebagainya. Tetapi tidak diharamkan mereka memakai atau mengguna apa saja yang diperbuat daripada perak, logam, besi dan sebagainya.
d)     Seni Sastra
Sastra artinya bahasa, seni sastra ialah seni bahasa. Susastera bermaksud ‘Bahasa Yang Indah’. Kesusasteraan pula bermaksud sejumlah tulisan yang menggunakan bahasa yang indah bagi melahirkan perasaan yang indah. Sastra adalah salah satu cabang seni manakala seni itu adalah suatu yang indah yang dapat dihubungkaitkan dengan keindahan mutlak Allah itu sendiri.
Kesusasteraan ialah satu bentuk tulisan yang dicipta oleh manusia dengan bantuan bahasa dengan tujuan menikmati penerokaannya ke dalam pengalaman-pengalaman semasa hidup.
Bentuk utama sastra ialah sifat pengisahan yang terdapat di dalam pernyataannya. Ahli karya sastra peka bertindak balas ke atas fakta-fakta penghidupan dan mempersembahkan kepada pembaca hasil kesadaran instuitif.
Pada umumnya, segala karangan atau karya tulisan yang menggunakan bahasa yang indah dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
a) Prosa Nathr – karangan bebas yang tidak terikat dengan sembarang peraturan
b) Puisi Syi’r- karangan atau gubahan perkataan yang terikat dengan peraturan tertentu seperti sajak, pantun, tamthil, ibarat dan sebagainya
Terdapat pengecualian bagi penyair yang rongganya penuh dengan syair-syair memuji Allah atau RasulNya, demikian juga syair-syair yang memuatkan zikrullah dan ajaran-ajaran agama, maka tidaklah dilarang .
Para sastrawan tidak dilarang sama sekali malah digalakkan agar mereka menghasilkan karya yang mengandung nasihat agama, semangat perjuangan untuk menegakkan kebenaran, keadilan dan menghapuskan kemiskinan dalam masyarakat. Karya-karya mereka pada zaman dahulu penuh dengan ilmu pengetahuan, menganjurkan kerjasama, persahabatan dan perpaduan ummah serta mengandungi puji-pujian terhadap Allah, sholawat ke atas nabi, pujian keatas para sahabat pilihan, para malaikat, kitab-kitab suci dan lain-lain. Bahkan Rasulullah sendiri mengucapkan syair sewaktu menggali parit dalam peristiwa perang Ahzab.
















BAB III
PENUTUP

3.1              Kesimpulan
Alloh Maha Indah dan menyukai yang indah. Islam mempunyai kriterianya yang tersendiri untuk dijadikan pengukur pedoman bagi menentukan halal atau haramnya sesuatu karya seni itu. Antara lain tidak merusak budi pekerti yang mulia serta tidak melalaikan orang dari beribadat dan mengingat Allah
Jenis –Jenis Seni
a)      Seni suara
Suara wanita bukanlah aurat, selama tidak disuarakan dengan cara yang melanggar syara’, misalnya dengan suara manja, merayu, mendesah, dan sejenisnya
b)     Seni rupa
Secara umumnya para ulama’ membagi seni rupa menjadi dua yaitu:
a)      Seni rupa yang mempunyai imej ataupun bentuk dan hasilnya dinamakan  patung
b)      Seni rupa yang tidak mempunyai imej maupun bentuk dan hasilnya dinamakan gambar atau lukisan
Beberapa ulama mempunyai pendapat yang berbeda mengenai kedua jenis seni rupa tersebut, ada yang berpendapat halal dengan kriteria tertentu dan ada pula yang berpendapat haram
c)      Seni busana
Busana yang baik menurut islam adalah yang menutupi aurat
d)  Seni sastra
Para sastrawan tidak dilarang sama sekali malah digalakkan agar mereka menghasilkan karya yang mengandung nasihat agama, semangat perjuangan untuk menegakkan kebenaran, keadilan dan menghapuskan kemiskinan dalam masyarakat.





3.2. Saran
Sebagai umat muslim,kita seharusnya lebih selektif menerima kesenian baru,terutama kesenian dari  barat. Karena kesenian barat cenderung senonoh dan tidak layak diterapkan oleh kita yang beragama muslim. Selain itu kesenian yang sudah kita miliki (yang sesuai dengan syari’at islam) mesti kita jaga dan kita kembangkan.


































1 komentar: